PRINTEMPS DANS TES YEUX


TangkalInfo - Setelah 20 jam perjalanan dari bandara Soekarno Hatta menuju Charles de Gaulle Airport, Shella menumpangi taksi menuju Sheraton Paris Hotel. Pemandangan sungai Seine sepanjang jalan tak luput dari pandangannya. Sesampainya di hotel, dia langsung menuju resepsionis, memesan sebuah kamar dan menerima kuncinya. Hotel itu hanya berjarak 500 meter dari Menara Eiffel. Tak banyak berubah, paduan warna gold dengan kemerlap cahaya lampu gantung di setiap sisi bangunan bergaya art Nouveau ini kerap membangkitkan rindunya pada kenangan silam.
Setelah mengunci pintu, Shella melepaskan Stiletto dari kaki jenjangnya dan menggeletakkannya begitu saja di lantai. Direbahkannya tubuh yang lelah itu  ke kasur, sejenak melepas rasa lelah sembari mengecek pesan baru dalam ponsel. Selain sebuah pesan Angelica seorang temannya dari Norwegia, tak dijumpai pesan lain dalam selularnya.
Saat menatap langit – langit cream coklat kamarnya itu, tiba-tiba Shella teringat lelaki yang dia kenal sejak pertama kali menjejakkan kakinya di kota itu. Robert, lelaki blasteran Prancis – Jawa, itu seketika masuk ke dalam memori ingatan Shella, meskipun sesungguhnya Shella sadar tak semudah itu dia bisa terbang ke pelukannya. Dalam pikirannya sudah terbayang setumpuk tugas dan deretan deadline di meja kerja yang lebih menuntutnya alpa dari hadapan kekasih enam bulannya itu, belum lagi jerit tangis anaknya dan comelan istrinya. Biasanya dia selalu menyambut kedatangan Shella ke negeri itu bahkan selalu menjemput Shella ketika sampai di bandara. Sebenarnya Shella sendiri sudah sadar kisah mereka telah tenggelam sejak lama, sejak Robert memilih kembali ke pelukan istri dan anaknya.
Setelah beberapa bulan memilih menghirup udara pengap Jakarta, Shella memutuskan untuk kembali ke kota cahaya itu, sudah dipikirkannya matang-matang segala pahit manis yang kelak akan ditelan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Shella bangkit dari tidurnya, jam tangan yang sudah disetel dengan waktu Prancis menunjukkan angka 07.25. disibakkannyalah tirai merah tua dengan motif bunga Glads untuk melihat Paris yang cerah di pagi hari, kembali mengingatkannya pada agenda makan malam dengan Robert di Mas Provencal.
Kafe itu menjadi salah satu tempat favoritnya selama dirinya berada di negara ini, meskipun letaknya dekat dengan Kota Nice di Tenggara Prancis dan untuk menempuhnya butuh perjuangan menghadapi macet yang amat panjang, tapi ketika sampai disana hatinya pasti lekas berbunga. Disana Shella bisa mengamati setiap sudut restoran yang ditutupi dengan bunga-bunga cantik seperti mawar, anggrek, ivi, peony dan beberapa bunga dari berbagai belahan dunia. Kenangan yang selalu lekat dalam ingatanya, ketika Robert menyematkan cincin putih dengan binar matanya yang manja. Lebih manja dari pendar bianglala.
Ah, selalu tak pernah bisa ada bahasan lain selain tentang dia. Pagi cerah itu, Shela bertekad akan menghabiskan musim semi mengamati karya para seniman lokal di Paris Nord Villepinte, pusat pameran kota paris yang tak terlalu jauh dari stasiun Le Bourget TGV atau berbelanja di Usines Center Outlet. Usai menerima telepon singkat dari Angel, dia lekas mandi dan berdandan, Shella mengira akan rugi banyak jika hanya menghabiskan seharian waktunya dalam hotel.
Ketika hendak keluar menuju lobi, matanya terantuk pada sosok yang begitu sangat dia kenal. Seketika Shella mematung, ada desir yang tak mampu dia terjemahkan. Bibirnya terkunci rapat ketika melihat lelaki yang sudah sekian lama tak bersua, ketika berjumpa malah dia dalam keadaan tak berdaya. Mata Shella  dikuceknya sekali lagi, memastikan sosok lelaki itu. Berada di jalan keluar dari sebrang lift yang dia gunakan. Kali itu Shella sudah mantap menduga kalau itu pasti dirinya, dan wanita berhijab merah itu, apakah dia istrinya?
Shella hanya bisa menelan seluruh pertanyaannya sampai dada terasa sesak. Mata mereka tak sengaja bertemu. Shella tersenyum, sedangkan dia masih bengong terlihat kaget sekaligus bingung. Tanpa banyak basa – basi Shella hampiri dia sementara istrinya sedang menuju resepsionis.
“Hai, apa kabarmu?” ujar Shela menyapanya, dari mata Robert terpancar pendar yang selalu bisa menikam hati Shella.
“Baik, dirimu?” jawabnya sedikit terdengar gagap, “sejak kapan kau kembali kesini?” lanjutnya.
“Sejak aku memutuskan untuk mencarimu dan menganggap perjanjian kita dulu batal” jawab Shella sambil tersenyum.
“Mengapa baru sekarang kau mencariku?”
“Aku tak ingin kau terluka, terlalu banyak derita yang akan tercipta jika aku tetap memilih bersamamu” jawab Shela sambil mengusap rambut hitamnya, masih hitam serupa masa lalu mereka. Tanpa sadar ada luka yang makin terkoyak seiring kata – kata itu meluncur.
“Kau terlalu mudah menduga – duga Shella, bahkan kau sendiri yang tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan”, dia menunduk. Dua tangannya di kedua sisi kursi roda itu bertemu, hingga jemarinya saling mencubit punggung satu sama lain.
“Aku memang terlalu cepat ambil kesimpulan, memang seharusnya tak perlu lagi aku kembali.” Shella hanya bisa menatap jauh ke luar kaca, memandangi sederet bangunan Haussmann neo-klasik, Arc de Triomphe yang menjadi monument tengah Place de I’Etoile.
Dari lorong koridor Shella melihat istri bersama anaknya berjalan menujunya, dengan sigap Shella mengakhiri percakapan mereka. Mungkin kali itulah jadi pertemuan yang terakhir. Shella berjalan meninggalkan Robert yang menatapnya dari kursi roda.
Mencintai Robert bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen kebahagiaan, tetapi terselip 10 persen racun mematikan di dalamnya.
Dan Shella, meskipun tahu bahwa dibalik kebahagiaan itu ada racun yang terserap di tubuhnya perlahan – lahan menggerogoti jiwanya dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil pahit itu di setiap kesempatannya dahulu. Tidak peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan mengendap dalam aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa dia rasa.
Tapi kini Shella mengerti, mengapa tak mudah Robert meninggalkannya.
Shella kembali menuju kamarnya, tak keluar selama seminggu. Sampai mayatnya ditemukan tewas bunuh diri di kamar mandi, di pergelangan tangannya silet tajam masih menancap memberi jalan bagi darah yang hendak keluar, keluar bersama kenangan dalam ingat yang berkarat.

****
Catatan :
Printemps dans tes yeux : musim semi di matamu

Penulis bernama Sonya Hervina Okthiara. Lahir di Bandar Lampung 21 Oktober 1993. Mahasiswi Pendidikan Geografi FKIP Unila ini dapat dihubungi lewat facebook:Sonya Hervina Okthiara. Putri dari pasangan Herman dan Hafizia ini, kini tinggal di Desa Natar, Lampung Selatan.

Onya Pink

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PRINTEMPS DANS TES YEUX"

Posting Komentar